Secangkir Senja Untuk Sore

Karya: Noviani Gendaga

            Arial menepi. Ban sepeda motornya tak sengaja mencium beberapa butir paku yang sengaja ditebar oleh tukang tambal ban ‘nakal’ di pinggir jalan. Mahesya mendengus di belakang pundaknya yang bidang.

“Kenapa harus kempes segala sih bannya?! Aku bisa telat nih!” Mahesya menggelung rambut emasnya, hingga tak bersentuhan dengan leher mulusnya.

“Maaf ya, Sayang… Aku juga tidak tahu kalau akan begini jadinya…” Arial memelas pada kekasihnya itu.

“Aku kan sudah bilang, jangan pakai motor kolot begini! Asapnya kemana-mana, bikin polusi, bikin rusak kulit! Kenapa sih kamu selalu enggak mau dengarin aku?!”

“Memangnya kalau pakai mobil bannya bisa berubah jadi enggak kempes? Sama aja kan? Maafkan aku, Mahesya…” Arial berusaha memberikan pemahaman kepada Mahesya. Satu-satunya wanita ter-egois yang pernah ia temui. Namun Arial tetap mencintainya.

“Setidaknya kan aku jadi tidak kepanasan! Sudahlah! Aku ke sekolah naik taksi saja.” Mahesya berlalu. Meninggalkan Arial dengan Vespa bututnya.

*

Dua puluh menit terlewati. Arial belum juga tiba di sekolah. Mahesya berkali-kali menyambungkan panggilan dari ponselnya pada ponsel Arial. Namun, tak satupun jawaban yang ia terima. Sesekali ia mengirimkan chatting ataupun SMS, namun hasilnya sama saja.

Mahesya berpikir sejenak, sebelum ia memutuskan untuk masuk ke kelas lebih dulu, tanpa menunggu Arial di gerbang sekolah. Sebenarnya, kali itu ia telah melanggar perjanjian yang telah lama mereka sepakati. Perjanjian; sama-sama masuk kelas.

Mahesya menyusuri koridor sekolah dengan kesal. Begitu sial nasibnya hari ini. Ia sangat membenci perilaku aneh pacarnya itu. Bisa-bisanya anak seorang pengusaha minyak bumi, hobi sekali pergi-pergi ditemani dengan Vespa butut keluaran tahun sembilan puluhan. Terlebih lagi, ketika Arial membatalkan jadwal dinner mereka, hanya karena si ‘butut’ tergores.

“Good morning, my little angle… Dari tadi kok cemberut aja sih?” Gina merangkul mesra sahabat sekaligus sepupu dekatnya itu. Mahesya mengubrisnya dengan malas.

“Biasa. Si Arial sama ‘pacar bututnya’ itu.” Mahesya menekuk-nekuk jari telunjuk dan jari tengahnya di samping pelipisnya.

“Oh my God! Kamu udah melanggar perjanjian suci kalian?! Kok Mahesya tega sih tidak menunggu sang pangeran di depan gerbang sekolah?!” Gina melotot. Mahesya memutar bola matanya.

“Gin..”

“No… no… no! Kamu harus kembali ke gerbang, Sya. Kamu tahu kan apa yang akan terjadi kalau kamu melanggar perjanjian ini?”

“Gin…”

“Enggak ada alasan, Mahesya.”

“Apa? Apa yang terjadi kalau aku enggak nungguin Arial? Putus? Aku capek, Gin. Selama ini selalu aku yang mengalah. Selalu aku yang berusaha mengerti dia. Nurutin keinginan dia. Tapi dia? Enggak pernah sama sekali mikirin gimana susahnya jadi aku. Nahan malu berangkat ke sekolah pakai a f*cking ugly bicycle. Aku…” Kalimat Mahesya terputus.

“Apa? Kamu kenapa?” Arial berdiri di belakang keduanya. Mendekapkan kedua tangannya di atas dada dengan tenang. Meski tatapannya tak lagi teduh.

“Aku… capek.” Mahesya ragu, namun sifat ke-aku-an-nya masih meremang.

“Baik. Kita sudahi saja sampai sini.” Arial menusuk bola mata biru milik Mahesya dengan tatapan sinisnya.

“Semudah itu?”

“Kenapa tidak? Aku kasihan padamu yang terlalu ‘capek’ denganku.” Arial menekan suaranya pada kata-kata ‘capek’.

Mahesya melepaskan gelang yang dirangkai dari manik-manik aneka warna yang tersemat pada pergelangan tangan kanannya. Gelang itu buatan tangan Arial semenjak satu tahun sembilan bulan yang lalu.

“Semudah itu kamu mengakhiri ini semua? Kamu anggap apa perjuangan aku selama ini? Waktuku, hatiku, perjuanganku, semua hal aku lakukan untukmu. Tapi tidak ada satupun yang kamu hargai. Aku mati-matian menjaga hubungan kita. Berusaha mengerti kamu dan dunia khayalmu yang enggak pernah bisa aku mengerti. Mencoba mengerti mengapa aku harus membagi cintamu untuk Vespa pemberian Sarah. Mengapa seolah kamu tidak pernah berusaha untuk melupakannya? Ada aku yang selalu berusaha membuatmu bangkit. Sudah terlalu lama, Arial. Sudah terlalu lama kamu jatuh cinta pada Sarah. She was die…” Mahesya terisak dalam pelukan Gina. Gina hanya bisa mengelus lembut rambut emas Mahesya.

“Sesederhana itu kamu memikirkan perjuanganmu? Tidak pernah terbayangkan bagimu, aku juga telah berusaha merubahmu yang kekanak-kanakan. Berusaha memaklumi kebiasaanmu yang selalu ingin dimanja. Selalu ingin diperhatikan. Bahkan untuk menepati satu janji saja, sangat sulit bagimu. Tidak pernah kau pikirkan, bagaimana susahnya aku melupakan Sarah yang terlalu berpengaruh dalam hidupku? Berusaha setengah mati untuk mencintaimu hingga sekarang aku tidak pernah tega meninggalkanmu. Tapi kau malah menghina sesuatu yang aku jaga untuk orang yang aku cintai. Aku menjaganya untukmu. Meski itu hanya sebuah motor kolot seperti yang kau katakan.” Urat-urat di tangan Arial menonjol. Suara bel masuk kelas berbunyi. Memecah kebekuan di tengah-tengah koridor yang kelabu.

“Cukup sampai sini hubungan kita.” Arial berlalu. Meninggalkan Mahesya yang masih terisak dalam pelukan Gina. Gina menganga.

*

Lima tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa, masa-masa SMA terlewati begitu saja. Tanpa meninggalkan segaris pun bekas. Hanya ada setumpuk kenangan dan rasa rindu yang meluap-luap.

Arial dan Mahesya tak pernah saling sapa setelah kejadian beberapa tahun silam. Keduanya seolah larut dalam rasa trauma pada jatuh cinta. Keduanya memilih untuk tak berjumpa, agar tak semakin mengakar rasa sakit akan saling kehilangan. Keduanya berusaha untuk menjalani hidup sebagaimana mestinya. Menjadi manusia normal yang seolah tak gentar oleh apapun, meski hati keduanya begitu rapuh.

Mahesya memilih melanjutkan dunia pendidikannya pada sebuah universitas negeri di Bandung. Astronomi menjadi jurusan yang dipilih oleh penggila ilmu perbintangan itu. Sedang Arial, memilih untuk melanjutkan studinya di Kairo. Masa-masa jauh dari Mahesya, membuatnya jauh lebih dekat dengan Tuhan penciptanya. Ia mulai aktif di rohis dan mengikuti beberapa kajian pada sebuah lembaga dakwah. Itu membuatnya memilih tafsir Al-Qur’an sebagai jurusan perkuliahannya.

Tidak banyak yang Arial tahu tentang Kairo. Sebatas negeri Sungai Nil yang terik, disesaki dengan mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia yang mengambil studi di Al-Azhar. Selain itu, Arial tak tahu lagi. Arial juga tidak terlalu paham dengan Bahasa Arab. Ia pun heran, mengapa Al-Azhar menerima calon mahasiswa dengan nilai agama tak terlalu tinggi, dan kemampuan bahasa arab cetek sepertinya.

“Assalamu’alaikum. Excuse me. May I give some question?” Arial menyapa seorang pria dengan wajah asia yang duduk pada bangku bis di sebelahnya. Ia menoleh,

Aywa. Anta min Endonesi?[1] Eh…”

“Bang Dzaki?”

“Arial?”

“Masya Allah!” Keduanya hampir serempak, lalu berpelukan.

“Bagaimana kabarmu, Ar?” Pria bertubuh pendek dengan kacamata tanpa frame itu menepuk-nepuk bahu Arial. Arial tersenyum haru.

“Alhamdulillah. Tidak pernah lebih baik dari sekarang, Bang. Bagaimana kabar Abang?”

“Alhamdulillah, Ar. Kini aku sudah dikaruniai dua mujahid dan satu syahidah. Aku sedih sekali ketika kehilangan data-data tentangmu. Padahal, aku ingin sekali mengundangmu di acara walimahku.”

“Subhanallah… Bukan masalah kalau tidak diundang, Bang. Asalkan, saya tetap kebagian pajak walimahnya ya?” Arial tertawa. Begitu juga dengan Dzaki.

“Eh, ngomong-ngomong sudah menikah sejak kapan, Bang?”

“Alhamdulillah, sudah semenjak empat tahun yang lalu. Kalau tidak salah, kamu mengenal istriku. Karena waktu SMA, dia satu kelas denganmu.” Dzaki memperbaiki letak kacamatanya.

“Abang menikah dengan adik kelas? Luar biasa!” Arial geleng-geleng.

“Iya. Mahesya Ridwan. Anak kelas sebelas-IPS-satu. Kamu kenal kan? Dia sangat anggun, Ar. Bahkan ketika kami sudah memiliki tiga anak. Kapan-kapan, kamu harus mampir ke rumahku. Dia pandai sekali memasak. Aku baru tahu, ada wanita bule…”

Suara Dzaki seolah menghilang. Ruang udara hanya terisi dengan suara detak jarum arloji, nafas yang terburu, detak jantung yang terpacu, dan suara-suara yang membangkitkan memoar masa abu-abu. Kairo seolah membisu.

*

Mahesya merapatkan jaket Levis-nya. Bandung tengah memasuki musim hujan. Hawa dingin seolah tak memberi hawa panas kesempatan untuk hadir di tengah-tengah umat manusia. Mahesya kembali melirik arlojinya. Ia sudah terlalu resah untuk berada di dalam ruang kelas. Mendengarkan dosen baru mengenalkan diri, memang sesuatu yang sangat membosankan.

Handphone Mahesya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari ‘Oma’.

“Maaf, Pak. Saya ada keperluan sebentar.” Mahesya menunjuk handphone mininya. Pria di depan kelas itu mengangguk seraya tersenyum.

“Assalamu’alaikum, Oma. Ada apa?” Mahesya melangkah ke luar kelas. Sengaja ia memelankan suaranya.

“Walaikumussalam. Demam Langit semakin buruk, Sya. Bisa kamu pulang sekarang? Atau, mau minta tolong pada Hendra saja? Mama bisa menjaga Langit untukmu.” Suara ibu kandung Mahesya itu menandakan kekhawatiran yang berakar.

“Masya Allah. Tolong suruh Pak Hendra mengantar Langit ke rumah sakit ya, Oma. In sha Allah Mahesya akan segera menyusul.”

“Baiklah. Angkasa dan Pelangi biar Mama titipkan di rumah Tante Sarah ya… Assalamu’alaikum.”

Sambungan terputus.

Mahesya segera kembali ke bangkunya. Gina mendapati wajah sahabatnya itu tengah kalut.

“Ada apa, Sya?”

“Demam anakku semakin tinggi, Gin. Aku sangat khawatir…” Firasat gadis bule itu semakin tak baik. Gina menggigit bibir bawahnya seraya mengelus punggung sahabatnya itu.

Sudah sebelas hari anak sulung Mahesya menderita penyakit demam. Banyak dokter yang telah didatanginya. Namun obat-obat dari mereka tak bisa membantu menurunkan demam yang diderita Langit. Mahesya sengaja tak memberi kabar pada suaminya, karena ia takut kabar tersebut akan mengganggu studi suaminya di luar negeri.

“Ya, karena saya masih dosen baru di sini. Bagaimana kalau saya memberikan kalian sedikit kelonggaran di hari pertama saya mengajar?”

Suasana kelas berubah cerah. Gerio menciptakan hangat di tengah musim hujan Bandung.

“Baiklah, saya rasa cukup perkenalan singkat saya hari ini. Selamat siang!”

Mahesya buru-buru memasukan kertas-kertas serta perlengkapan menggambar ke dalam drawing tube-nya. Dibantu Gina yang akan mengantarkannya ke rumah sakit. Langkah Mahesya dan Gina terhenti.

“Siapa namamu?” Gerio mendekati Mahesya dengan antusias. Dosen muda itu memang terlihat sangat tampan dibalut dengan kemeja hitam yang masih terlihat bekas lipatannya.

“Mahesya Ridwan, Pak.” Mahesya melirik Gina dan Gerio secara bergantian. Gina menaikkan sebelah alisnya.

“Oh… Tidak usah memanggil saya dengan panggilan ‘bapak’. Umur saya tidak terlalu jauh di atasmu. Panggil saja dengan panggilan ‘Kak’, atau apa saja yang Mahesya inginkan.” Gerio memperbaiki letak jam tangan Swiss yang tersemat pada pergelangan tangan kirinya.

“Maaf, Pak. Teman saya sedang buru-buru.” Gina angkat bicara, ketika menyadari ada sesuatu yang tak beres.

“Oh… Apa yang bisa saya bantu untuk, Mahesya dan…” Gerio melirik Gina dengan senyum yang dibuat-buat.

“Gina.”

“Dan Gina?” Lanjut Gerio.

“Maaf, Om. Anak saya sedang sakit. Saya harus segera menyusulnya ke rumah sakit. Kalau tidak keberatan, boleh Om Gerio tidak berdiri di depan pintu seperti ini? Karena ini sangat menganggu pengguna jalan.” Mahesya memutar bola matanya. Gina tersenyum menang. Gerio mengangguk kikuk, seraya membuka jalan untuk keduanya. Air muka Gerio berubah menjadi merah padam.

*

Arial merebahkan tubuhnya di atas spring bed berwarna coklat kalem berbalut sprey putih polos. Perjumpaannya dengan kakak kelasnya itu, memberikan sedikit warna-warna baru.

Salah satunya, Arial berhasil menemukan apartemen yang tidak terlalu mahal tetapi memiliki fasilitas yang cukup bagi mahasiswa akhir tahun sepertinya. Apartemen yang ia tinggali dulu, dirasa terlalu mahal dan suasananya kurang kondusif untuk mengerjakan skripsi. Dan kini, ia satu gedung apartemen dengan Dzaki. Kamar mereka bersebelahan. 104 untuk Dzaki. 105 untuk Arial.

Salah duanya, Arial berhasil menyimpan secuil penyesalan karena terlalu lamban melamar Mahesya. Buruknya lagi, yang meminang gadis pujaan hatinya itu ialah kakak kelas terdekat yang ia kenal ketika aktif rohis dulu. Di lain sisi, ia bersyukur karena Mahesya kini telah berjalan pada garis yang sama dan memiliki imam keluarga yang sangat sholih. Meski, hati kecilnya merasa sedikit nyeri ketika mengingat Dzaki dan Mahesya.

Hand-phone Arial berdering. Arial bangkit dari pembaringannya. Ia melirik malas ke atas layar ponselnya di atas meja kayu di samping spring bed apartemen. Bunda.

“Assalamu’alaikum, Bunda… Alhamdulillah Adek udah dapat apartemen barunya… Tadi enggak sengaja ketemu sama Bang Dzaki… Iya, kakak kelas adek waktu di SMA… Terus Bang Dzaki menawarkan kamar kosong di apartemennya… Oke, Bunda… Bagaimana kabar Ayah dan Kak Vio?… Alhamdulillah kalau begitu… Alhamdulillah kabar Adek Ial baik-baik saja, Bunda… Oke, salam buat yang di Indonesia. Salam kangen dari Adek Ial… Walaikumussalam, Bunda.” Klik! Sambungan terputus.

Arial menghembuskan nafasnya perlahan. Semangatnya mulai berkoar setelah mendengar suara  ibu kandungnya itu. Hampir empat tahun sudah, pria berambut cepak itu tak bersua dengan sanak-saudaranya di Indonesia. Hampir empat tahun sudah, pria berkulit sawo matang itu tak menghirup udara segar Bandung di pagi hari. Hampir empat tahun sudah, pria bertubuh tinggi jangkung itu tak mendengar logat Sunda yang berseliweran di tengah-tengah bumi. Hampir empat tahun sudah, kulit Arial tak bercengkrama dengan udara super dingin kota kelahirannya.

Arial melepas kaos kaki biru malamnya. Ia menggulung lengan kemeja putihnya. Dua belas menit lagi, waktu Dzuhur akan tiba. Arial membuka pintu kamar mandi berwarna emas, untuk mengambil wudhu.

Ia terhenyak ketika mendapati tubuh seorang pria arab tergeletak di lantai kamar mandinya. Mata kanannya seperti sengaja dicungkil.Urat-urat matanya ikut menjulur ke luar kelopak bersamaan dengan bola matanya. Beberapa bagian kulit kepalanya terkelupas. Menyajikan pemandangan urat-urat biru yang transparan. Darah segar memenuhi lantai putih di bawah jasad itu. Aroma darah mencekam rongga-rongga pernapasannya.

Arial terdiam sejenak, lalu reflek berteriak.

Tubuh Arial berguncang. Kakinya tak lagi dapat menopang berat tubuhnya. Ia terduduk seraya memaksa matanya untuk terpejam. Namun ia masih saja memelototinya. Tangan kanannya berusaha menggapai hand-phone di atas tempat tidurnya. Ia buru-buru menelfon Dzaki.

“Bang… tolong saya… to… long saya…” Arial terbata-bata dalam isakannya.

Sedetik kemudian pintu apartemen Arial diketuk dengan kuat.

“Ar! Ada apa, Ar?! Tolong buka pintunya, Ar!” Dzaki berteriak panik seraya terus-menerus mengetuk pintu kamar 105. Arial memaksa tubuhnya bangkit. Ia terseok-seok membukakan pintu untuk Dzaki.

Dzaki masuk ke dalam kamar Arial seraya membantu adik kelasnya itu agar bangkit. Wajah Arial pucat pasi. Jari jemarinya seolah menggapai sesuatu di langit-langit. Mulutnya tak jelas berkata apa.

“Ada apa, Arial?” Dzaki meletakkan tubuh lemas Arial di atas tempat tidur. Arial menunjuk ke arah toilet kamarnya. Dzaki melongok ke arah yang dimaksud Arial.

“ASTAGHFIRULLAHALADZIM! INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN!” Dzaki cepat-cepat menyambungkan layanan kamar dari telfon kamar Arial.

“Siapa dia, Ar?” Dzaki mengguncang-guncang tubuh Arial. Bibirnya tak lagi dapat berucap sepatah katapun.

*

Mahesya menyematkan jarum pentul pada kain kerudung di bawah dagunya. Kerudung ungu transparannya ia lapis dua dengan kerudung lain berwarna abu-abu. Membuat warna ungunya menjadi sedikit samar.

Ibu dari tiga anaknya itu merapikan letak buah-buahan dan obat-obatan di atas meja besi berwarna perak pucat. Langit masih tertidur pulas, dengan air impusan yang mengalir pada urat nadi tangan kanannya.

Mahesya menatap putra sulungnya dengan sendu. Berharap Langit segera bangun dan membacakan hafalan Al-Qur’an di hadapannya. Mendengar kembali canda-tawanya ketika menyambungkan Skype antara Langit dan ayahnya, merupakan kerinduan yang sangat ia nanti.

“Assalamu’alaikum…” Gina membuyarkan lamunan sepupunya itu.

“Walaikumussalam. Eh, Gina. Pagi-pagi udah ke sini aja. Tante Tina sama Om Herman enggak diajak?” Mahesya dan Gina saling bersalaman.

“In sha Allah Mami sama Papi ke sini nanti siang. Gimana kondisi Langit, Sya?”

“Alhamdulillah demamnya udah turun, Gin. Tapi dari kemarin belum siuman.” Mahesya mengambil mangkok steinless berukuran jumbo. Ia memasukkan air hangat ke dalamnya.

“Kak Dzaki udah kamu beritahu, Sya?”

Mahesya terdiam sejenak. Lalu kembali menyapukan air hangat ke tubuh Langit dengan sapu tangan.

“Belum, Gin. Aku khawatir kalau…”

“Dia itu suamimu, Sya. Sampai kapan kamu selalu menutupi semuanya dari dia?” Perempuan dengan hijab merah muda vintage itu menggantungkan switter rajutnya pada gantungan di belakang pintu.

“Iya, Gina… Aku akan memberitahu Kak Dzaki kalau dia sedang tidak sibuk dan ada waktu untuk menghubungiku.”

“Kenapa kamu tidak mencoba untuk menghubunginya lebih dulu?”

“Hanya tidak ingin buang-buang pulsa. Kairo itu jauh, Gin.” Mahesya tertawa kecil. Gina tersenyum.

“Dari dulu, emang kamu yang paling pintar beralasan, Sya! Kayak teknologi zaman sekarang susah saja.” Gina menimpali candaan sepupunya itu.

“Ngg… Sya. Aku mau memberitahumu sesuatu. Tapi, kamu janji ya jangan kasih tahu siapa-siapa dulu?” Gina memelankan suaranya.

Mahesya menggulung lengan baju gamisnya. Ia mencuci buah-buahan yang diberi teman-teman pengajiannya kemarin sore.

“Tapi aku malu banget!”

“Ha? Seorang Gina Wimardian malu? Berita apa nih sampai kamu jadi malu gini?”

“Ih! Aku juga manusia kali, Sya. Punya malu.”

“Oh ya? Aku baru tahu kamu manusia.” Maheysa tertawa seraya mengupas kulit apel.

“Aku seriusan nih…” Gina mengelus rambut Langit. Wajahnya bersemu.

“Iya-iya. Ada apa sih, Sayang?”

“Aku…” Kalimat Gina terputus. Hand-phone di atas meja perak di dekatnya berdering. Gina melongok melihat tulisan pada layar ponsel Mahesya.

“Kak Dzaki nih, Sya. Sumpah deh ya… Enggak ada romantis-romantisnya ngasih nama kontak buat suami!”

Mahesya meletakkan apel-apelnya di atas piring putih polos. Wajahnya berubah pucat. Segera ia menjawab panggilan dari suaminya itu.

“Assalamu’alaikum, Kak…” Mahesya berupaya membuat nada suaranya terdengar ceria. Lalu ia berjalan ke luar kamar. Gina mengambil apel di dekat westafel. Lalu mengunyahnya bersama dengan kabar bahagia yang ingin ia bagi pada Mahesya.

“Apa kabar, Bunda? Ayah rindu sekali denganmu dan anak-anak.” Suara di seberang sana membuat Mahesya resah.

“Alhamdulillah, baik. Bagaimana kabar Kak Dzaki?”

“Alhamdulillah baik. Tapi sekarang aku lagi di rumah sakit, Sya.”

“Siapa yang sakit, Kak?” Suara Mahesya lebih terdengar datar dibanding khawatir. Empat tahun menikah, tidak menjadikan Mahesya merasa memiliki seseorang yang spesial selain ibu kandung, dan ketiga putra-putrinya. Kehadiran Dzaki sudah banyak merubah hidupnya. Meski hatinya masih tak begitu banyak berubah dari masa lalu.

“Teman lama dari Indonesia. Tadi pagi dia syok karena ada seorang pria arab mati secara tak wajar di kamar mandi apartementnya. Dia ada sedikit trauma di masa lalu tentang kematian yang tidak wajar.” Dzaki berdehem.

“Ooh…” Mahesya menerawang.

“Bagaimana kabar anak-anak kita, Bun?”

Mahesya mendelik.

“Pelangi dan Angkasa lagi main ke rumah Oma. Langit sedang bersama saya, tapi dia sedang tidak ingin bicara.” Mahesya berdalih. Mahesya selalu canggung dalam setiap percakapannya dengan Dzaki.

“Oh… Hahaha, apa dia sedang marah pada ayahnya karena tidak pulang-pulang?” Dzaki tertawa di seberang sana.

“Mungkin.”

“Apa kamu tidak merindukanku, Sya?” Dzaki berharap.

“Belum.” Mahesya mengutuk dirinya karena terlanjur mengatakan kata-kata jahat itu pada suaminya. Dzaki menghela napas.

“Aku mengerti, Sya.Tapi kamu harus mengetahui bahwa aku selalu jatuh cinta padamu di setiap waktu. Meski sulit bagimu untuk membalasnya.”

Hening sejenak. Dzaki dan Mahesya terdiam. Mencoba merasakan apa yang berputar pada signal-signal yang menghubungkan keduanya.

“A… ada yang harus saya beritahu, Kak Dzaki.”

“Iya, ada apa, Sayang?”

“Langit sedang sakit. Sekarang kami berada di rumah sakit.” Mahesya menggigit bibirnya.

“Innalilah! Sejak kapan, Bun?”

“Kemarin pagi, Kak. Saya minta maaf karena tak bisa menjaganya untukmu.”

“Bunda… Penyakit itu datangnya dari Allah. Kita tidak tahu kapan Allah akan memberikannya pada hamba-hamba-Nya. Bukan salahmu ketika Langit sakit seperti ini. Yang harus kita lakukan adalah senantiasa berikhtiar dan menyerahkan segala urusan kepada Allah. In sha Allah Langit akan sehat atas izin Allah. Jaga dirimu, Oma, dan anak-anak ya, Sayang.” Dzaki memelankan suaranya agar terdengar lebih tenang. Mahesya menyadari betapa beruntungnya ia memiliki pendamping hidup yang mencintai istri dan anak-anaknya seperti Dzaki. Namun hatinya masih bersikeras untuk tak jatuh cinta.

“Maafkan saya karena belum bisa sepenuhnya mencintaimu.” Hati Mahesya seolah meringkuh.

“Tidak apa-apa, Sya…”

“ Oh, iya! Kalau tidak salah Bunda mengenali teman lama Ayah dari Indonesia yang tadi Ayah ceritakan. Dulu dia satu sekolah dengan kita ketika SMA. Malah satu kelas denganmu.” Lanjut Dzaki.

Mahesya menghela napas. Bersyukur karena Dzaki tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kedengaran seperti orang linglung.

“Oh ya? Siapa, Kak?”

“Arial. Pasti kamu kenal kan?”

“A… Arial siapa, Kak?” Mahesya terbata.

“Aduh… Siapa ya nama lengkapnya? Ayah lupa, Bun. Tapi, sepertinya dia mengenalmu.”

Aroma ruangan rumah sakit tak lagi asing bagi penciuman Mahesya. Namun bayang-bayang mantan pacarnya itu seolah hadir kembali pada lorong-lorong rumah sakit. Menghantam jantungnya hingga nyaris tak berdetak lagi.

Mahesya memberikan ponselnya kepada Pelangi dan Angkasa yang tiba-tiba menghambur dalam pelukannya. Sedang ibu kandung Mahesya dapat mengendus suasana hati anak bungsunya itu.

“Ayah mau bicara nih…” wanita berkulit putih pucat itu tersenyum nyinyir.

Mahesya memeluk ibu kandungnya dengan kuat. Berusaha menghancurkan rasa yang campur aduk berotasi dalam dadanya.

*

Sudah tengah malam. Arial masih terjaga. Efek obat tidurnya sepertinya hampir habis. Arial menyeret tiang air impusannya mengikuti tubuhnya berjalan. Tak banyak yang bisa ia kerjakan di dalam ruangan rumah sakit negeri ini. Sedang, Dzaki tengah terlelap di sofa yang terletak beberapa centi di depan ranjang pasien.

Arial menatap ke luar jendela. Ia seolah mendapati bayangan Adrian di atas awan malam. Teringat kasus pembunuhan kakak sulungnya yang terjadi tepat ketika Arial baru masuk kuliah semester satu. Waktu itu, kebetulan Arial sedang pulang ke Indonesia.

Kali itu, secara tak disengaja ia mendapati tubuh Adrian terbujur kaku di atas tempat tidur, dengan luka tembakan di dada kirinya. Ubun-ubunnya koyak, dan memamerkan bagian otaknya yang bersimbah darah. Mamanya dan Kak Vio sedang menghadiri pesta pernikahan sepupunya, waktu itu.

Beberapa minggu setelah kejadian itu, baru diketahui bahwa si pelaku memiliki dendam lama. Adrian pernah melaporkan kasus korupsi karyawannya pada tahun 2004. Setelah beberapa tahun keluar dari penjara, karyawan itu melampiaskan dendamnya kepada Adrian.

Lamunan Arial tiba-tiba senyap.

Gesekkan cello dari luar rumah sakit terdengar begitu merdu. Seseorang memainkan instrumen Only Human milik Susumu Oeda. Nyaris tak ada kesalahan di dalamnya. Meski Arial tak banyak tahu tentang permainan cello. Namun, ia tahu benar instrumen itu.

Arial melongok ke luar jendela.

Seorang gadis dengan rambut rambut hitam lurus yang terurai hingga pinggang, memainkannya di depan gedung rumah sakit. Beberapa orang mulai mengerubungi gadis tersebut. Beberapa orang di antaranya ada yang duduk, menikmati keindahan permainan cello-nya.

Arial dapat menatap wajah gadis itu. Gadis berkaca mata itu memejamkan matanya. Seolah menghayati tiap gesekkan yang menghasilkan bunyi dari cello berukuran sedang berwarna coklat kayu yang lembut.

“Belum tidur, Ar?” Dzaki tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Eh… Belum, Bang. Belum ngantuk.” Pandangan Arial tak lepas dari gadis di pekarangan rumah sakit itu.

“Kamu suka cello?”

Arial menggeleng.

“Saya suka musik klasik. Mungkin, menurun dari kesukaan ayah dan kakak laki-laki saya.”

Dzaki mengangguk.

“Besok kamu sidang skripsi kan? Bagaimana kabar skripsimu, Ar?”

“Tiga hari di rumah sakit, ternyata ada hikmahnya juga, Bang. Walaupun bosan, saya jadi bisa lebih konsentrasi mengerjakan skripsi saya. Dan, Alhamdulillah sudah selesai. Besok sudah boleh keluar dari rumah sakit kan, Bang?”

“Alhamdulillah. Kata dokter, In sya Allah sudah boleh, Ar. Tapi kamu tidak boleh terlalu capek. Pokoknya kalau ada apa-apa, hubungi saya aja, Ar.” Dzaki menepuk punggung Arial.

Jazakallah khairon katsir, Bang.”

Waiyaka.

Arial bertepuk tangan. Gadis itu telah selesai memainkan cello­-nya. Tanpa disangka, gadis berwajah bulat itu menatap ke arah Arial yang berada di lantai dua, lalu tersenyum sebagai tanda terima kasihnya. Arial tertegun.

“Istirahat, Ar. Kalau kelamaan di sini, kamu jadi susah gadhul bashor, lho!” Dzaki menyenggol lengan Arial. Arial jadi salah tingkah dan segera menutup kaca jendelanya.

“Saya ingin menikahi gadis itu, Bang.” Arial tidak sedang bercanda. Namun wajahnya sedikit bersemu. Mata Dzaki membulat.

“Wah! Gerak cepat rupanya kamu, Ar! Hahahaha…”

“Saya serius, Bang.” Arial menarik selimut putih dengan leres hitam di bagian atasnya.

“Jangan gegabah, Ar. Tapi kalau niatmu sudah bulat begitu, saya hanya bisa mendukung. In sya Allah saya akan bantu mencari info tentangnya.” Dzaki memamerkan senyum menggodanya. Dzaki kagum pada kesungguhan adik kelasnya itu.

“Tidak perlu, Bang. Yang satu ini, biar saya usaha sendiri.” Arial tertawa kecil. Ia berjanji pada dirinya sendiri, kali ini aku tidak ingin terlambat lagi.

*

Mahesya mengaduk teh dengan ekstrak pepaya dalam cangkir putih berukuran mini. Semalam, Langit mengigau dalam tidurnya. Tidak jelas ia berkata apa. Pagi hari, anak sulung Mahesya itu akhirnya siuman juga setelah lima hari mendekap di rumah sakit.

“Bunda, La… ngit mau mi… num teh ju… ga.” Tidak sadar diri selama lima hari rupanya membuat pria mungil di depannya itu kesulitan dalam berbicara.

“Mau dibuatkan juga? Atau mau punya Bunda saja?” Mahesya mengelus rambut Langit. Rasa syukur yang sangat besar kepada Allah, karena masih memberikan Langit kesadaran di saat hatinya tengah sendu.

“Sa… ma Bun… da saja.” Langit berusaha bangkit dari tempat tidurnya.

“Kalau susah bangun, pakai sedotan aja minumnya…” Mahesya membantu Langit bersandar pada dipan ranjang rumah sakit.

“Langit ca… pek bo…bo terus. Mau du… duk aja.” Langit menyeruput teh hangat milik bundanya. Mahesya membantu Langit memegang cangkirnya.

“Ayah mana, Bun… da? Belum pu… lang dari Kairo?” Langit mulai lancar berbicara. Mahesya meletakkan cangkirnya di atas meja stainless di samping ranjang.

“Nanti Ayah pulang, kalau sudah selesai kuliah. Sabar ya, Langit…”

“Langit sudah bobo lama banget ya, Bun… da? Pas… ti Bunda kangen sama Langit.” Langit tersenyum. Wajahnya lebih cerah meski masih sangat pucat. Mahesya menahan rasa rindunya dalam-dalam.

“Iya dong! Abang Angkasa dan Dede Pelangi juga kangen banget sama Langit. Makanya, Langit harus segera sehat ya.”

“Emangnya, ke… napa Langit harus sehat, Bun… da?”

“Ya… Biar Langit bisa menghafal Al-Qur’an lagi, Skype-an sama Ayah lagi, belajar di sekolah lagi, ketemu teman-teman Langit di sekolah, main sama Abang dan Dede…” Kalimat Mahesya terputus.

“Langit enggak mau se… kolah lagi, Bunda.” Langit membuang pandangannya ke luar jendela rumah sakit.

“Lho, emangnya kenapa? Emangnya Langit enggak kangen sama Feri, Babas, dan Kiko?”

“Langit kangen kok sama mereka. Ta… pi Langit pengin di rumah aja sama Bunda.”

Mahesya terharu. Namun ia tidak pernah ingin anak-anaknya melihat keresahan yang tengah melanda hatinya.

“Langit mau selamanya sama Bunda. Langit enggak mau jauh-jauh dari Bunda la… gi.” Langit tiba-tiba memeluk erat Mahesya. Pelukan hangat milik anak kelas empat sekolah dasar ini, mampu membuat Mahesya tersentuh. Mahesya menyeka air matanya yang hampir tumpah seraya mengangguk.

“Iya, Sayang…”

“Bunda, Langit pengin pulang. Langit enggak mau di sini terus. Bo… san.” Langit tergugu dalam pelukan Mahesya. Mahesya mengangguk lagi.

“Iya. Boleh. Nanti Bunda minta tolong sama Om Dokter, ya.”

“Sekarang aja, Bunda. Langit pengin pulang. Langit enggak mau di sini.”

“Oke oke. Sebentar ya…” Mahesya menekan tombol yang menghubungkannya dengan perawat rumah sakit.

“Bunda, kalau nanti Langit pulang. Bun… da jangan sedih lagi ya. Kan Langit sudah pulang.” Langit kembali berbaring di atas kasurnya. Mahesya hanya dapat mengangguk seraya mengelus lembut putra sulungnya itu. Seorang perawat dengan khimar panjang menutupi dada, masuk ke dalam ruangan Langit.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”

“Iya, Suster. Anak saya sudah boleh pulang belum ya hari ini? Soalnya dia pengin pulang.” Mahesya tersenyum getir.

“Oh… Boleh saya periksa dulu, Bu? Siapa tahu kondisi Langit sudah membaik dan bisa segera pulang.” Suster itu tersenyum pada Mahesya. Mahesya mempersilakan suster dengan name tag: Rahayu itu mendekat dengan Langit yang kembali tertidur.

Rahayu menempelkan teleskop-nya ke dada Langit. Tiba-tiba ekspresinya berubah. Cepat-cepat ia meraba denyut nadi pada pergelangan tangan kanan Langit. Rahayu berubah pucat.

“Se… sebentar ya, Bu. Saya akan hubungi dokter dulu.” Cepat-cepat suster muda itu merogoh sakunya, dan menyambungkan panggilan kepada seseorang.

Mahesya keheranan. Firasatnya semakin buruk. Segera ia membangunkan Langit yang masih terpejam.

“Nak… Bangun, Nak. Kita mau pulang.” Mahesya mengguncang tubuh langit yang semakin dingin. Mahesya menggigit bibirnya. Batinnya mengatakan sesuatu yang tidak-tidak.

“Langit! Bangun, Nak!” Kali ini ia lebih kuat mengguncang tubuh Langit. Mahesya terduduk ketika menyadari sesuatu. Ia menahan isakkannya dalam-dalam. Rahayu mendekat seraya merangkul Mahesya.

“Ikhlas-kan, Bu… Ini sudah menjadi keputusan Allah. Percayalah ini takdir terbaik yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya.” Tatapan Rahayu berubah sendu.

“Tolong… ambilkan handphone saya, Sus… Saya mau menghubungi suami saya. Tolong bantu saya hubungi nomor nenek Langit, yang pernah saya tulis di registrasi.” Mahesya terus menangis. Rahayu mengambil handpone berwarna putih di atas televisi di dekatnya. Mahesya segera menyambungkan panggilannya kepada Dzaki.

Tak lama, beberapa pria dan wanita berseragam putih-putih masuk ke dalam ruangan. Semuanya sibuk mengeluarkan alat-alat medis berwarna perak. Pandangan Mahesya berbayang-bayang.

“Assalamu’alaikum, Bun. Ada apa?” Ujar suara di seberang sana.

“Pulang, Kak… Pulang sekarang… Langit…” Tangis Mahesya pecah.

“Masya Allah! Ada apa, Sya? Langit kenapa?”

“Langit, Kak… Langit… Tolong pulang sekarang!”

“Oke, oke! Ayah akan segera cari tiket. Ibu mana, Sya? Bisa aku berbicara dengannya?”

Mahesya terus menangis hingga tergugu. Padangannya tak sekali pun lepas dari tubuh mungil Langit. Beberapa pihak rumah sakit menenangkan Mahesya yang semakin lemas.

“Mahesya… Ada apa, Sayang?” Suara di seberang sana terus-terusan mengisi indera pedengarannya. Mahesya tidak dapat berbicara lagi.

“Ibu, pihak rumah sakit sudah mengubungi nenek Langit. Sekarang, beliau sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.”

Awan-awan abu-abu nan kumal, bergelayut pada langit Bandung yang semakin suram. Gerimis membeku di tengah-tengah bumi. Menemani air mata Mahesya agar ia tak sendiri. Menghantarkan Langit pada detik-detik kepergiannya pada akhir dari pembaringannya.[] Bersambung…

[1] Tentu saja. Kamu dari Indonesia?

Tinggalkan komentar